Sesungguhnya
Allah menciptakan bumi dan isinya ini dengan berpasangan. Ada langit ada bumi,
ada malam ada siang. Ada pria dan wanita yang diciptakan berpasangan.
Demikian
pula dengan kehidupan bermasyarakat. Secara ekonomis, manusia ada yang miskin
dan ada pula yang kaya. Dua keadaan yang juga saling berseberangan. Kelompok
pertama masuk dalam kategori mereka yang hidup penuh kekurangan secara materi.
Sebaliknya, golongan yang kedua hidup dalam bergelimangan harta. Keduanya tidak
tercela (dari sisi Allah). Sebab semua memiliki kedudukan sama di sisi-Nya.
Hanya ketakwaanlah yang menjadi tolok ukurnya.
Tulisan ini
membahas ‘proyek’ pembangunan stabilitas hidup dalam masyarakat dengan cara
menyinergikan dua hal berbeda ini. Sebab bila hal ini tidak kita upayakan, maka
keindahan hidup (bermasyarakat) itu akan sulit tercipta. Namun bila kita mampu
mewujudkannya, sungguh keindahan itu bisa kita rasakan secara bersama-sama.
Sejenak,
alihkan pikiran kita ke kota-kota besar semacam Jakarta, Surabaya atau Bandung.
Di kota besar, kita dapati ratusan gedung pencakar langit berdiri tegak.
Apartemen-apartemen megah membludak. Perumahan-perumahan mewah ada di
sana-sini.
Namun tak
jauh dari lokasi yang serba wah itu, kita dapati sekelompok masyarakat yang
hidup di kolong jembata, di bawah gubuk-gubuk yang terbuat dari kardus, yang
tertidur di emperan jalan, karena tak memiliki materi nan cukup untuk
berdomisili di tempat yang lebih layak. Jangankan untuk tempat tinggal, sekedar
mencari makan saja mereka harus banting tulang siang-malam.
Indahkah
pemandangan kondisi sosial macam ini? Tentu tidak sama sekali.
Kesenjangan
status sosial macam inilah yang bisa menyebabkan rusaknya kerukunan
bermasyarakat. Sebab tidak dipungkiri, bahwa kemiskinan bisa mengundang
seseorang pada kekufuran dan berbuat jahat. Realitas inilah yang terjadi di
tengah-tengah kehidupan kita.
Betapa
tidak, hampir setiap saat kita disuguhi berita-berita pencurian, perampokan,
pembegalan, pembunuhan dan aksi kekerasan lainnya. Selidik punya selidik,
ternyata dari sekian banyak alasan mereka, satu di antaranya karena terjerat
persoalan ekonomi. Ada yang mengaku untuk membiayai sekolah anaknya, biaya
rumah sakit sanak keluarganya, untuk membayar hutang dan lain sebagainya.
Pun demikian
nasib anak-anak di pinggir jalan. Mereka tidak mampu mengenyam bangku sekolah
karena keterbatasan ekonomi. Terlepas benar apa tidaknya pengakuan tersebut,
tapi poin yang kita ambil betapa kesenjangan hidup telah terpaut begitu jauh
antara si miskin dan si kaya, sehingga membuahkan keresahan demi keresahan di
masyarakat.
Berbagi
Islam
sebagai agama yang sempurnya telah memberikan solusi konkret untuk mengentaskan
persoalan satu ini. Diwajibkannya zakat dan dianjurkannya berinfak dan sedekah
mengandung hikmah agar bisa menjadi solusi atas persoalan di atas. Dan ini
bukan isapan jempol. Pada masa lalu, kita temukan betapa banyak persoalan umat
ini mampu dientaskan dengan jalur ini. Bahkan keyakinan orang-orang yang masih
lemah keimanannya (muallaf) bisa dikuatkan dengannya.
Kasih sayang
antar sesama pun akan tersemai subur di sanubari, manakala setiap individu
saling menyebarkan perilaku mulia ini. Tidak akan ada kebencian, karena uluran
tangan telah mampu memadamkannya. Seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam, “Senantiasalah kalian memberi hadiah, karena hadiah itu mampu
menghilangkannya sifat benci dalam dada.” (HR. Tirmidzi)
Mafhum
mukhalafah dari hadits di atas, betapa kebakhilan akan harta atau keengganan
membantu antar sesama (terutama mereka yang membutuhkan) itu bisa menjadi bibit
kebencian dalam diri seseorang.
Dan inilah
yang akan menjadi cikal bakal tumbuh suburnya kriminalitas dala suatu
komunitas. Dan bukan mustahil fenomena buruk (sebagaimana yang tertulis di
atas) yang terjadi di lingkungan sekitar kita saat ini, tersebab mewabahnya
kebakhilan dalam diri setiap individu, terutama mereka yang termasuk kategori
berada.
Untuk itu,
mari berupaya menghantarkan diri kita masing-masing untuk gemar berderma sesuai
dengan kemampuan kita masing-masing, demi terciptanya stabilitas kehidupan
sosial dan demi menggapai tujuan yang jauh lebih mulia, menggapai rahmat Allah
Subhanahu Wata’ala.
“Hai
orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang
dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Ash-Shaf: 10-11). Wallahu a’lamu
bish-shawab.*/Khairul Hibri
0 komentar:
Posting Komentar