Melewati
masa Ramadhan di perkotaan mungkin memberikan kemudahan dalam segala aspeknya.
Namun, pernahkah sesekali coba merasakan, bagaimana Ramadhan saudara-saudara
seiman di pedalaman?
Realitas
inilah yang sejatinya memanggil kami untuk peduli terhadap dai dan saudara kita
yang berada di pedalaman.
Sebut saja
contohnya dai kita dari Kutai Kartanegara, namanya Endi Haryono. Jangan
dibayangkan kala berangkat ke medan dakwah seperti halnya ibukota Jakarta. Naik
mobil ber-AC, membawa laptop, dan sebagainya.
Namun untuk
melaksanakan tugas dakwah, sehari-hari Endi harus menjalankan tugas dalam
keadaan berpuasa dengan menyusuri jalan berliku, lumpur, licin dan memakan
waktu berjam-jam.
Bahkan, itu
pun belum cukup. Untuk sampai ke lokasi dakwah, ia tak jarang harus
menyeberangi sungai Mahakam yang juga menguji adrenalinnya.
“Allah-lah
yang membalas kami, dan ini adalah kemuliaan,” ujarnya mengisahkan tugas-tugas
beratnya di medan dakwah kepada MULIA.
Hal serupa
juga dialami oleh dai kita di Merauke Papua, Ahmad Jupri. Medan berat, kultur
masyarakat yang masih haus akan ilmu juga menuntut kemampuan beradaptasi
tinggi, agar pesan dakwah dapat mereka terima. Selain itu, kadangkala potensi
kerusuhan sosial juga bisa datang kapan dan di mana saja. Akan tetapi, Jupri
tetap optimis dan bersemangat.
“Inilah
fakta dan tantangan dakwah. Tetapi demi kemuliaan umat Islam, ini harus tetap
kita lakukan dengan istiqomah,” ujarnya bersemangat.
Kondisi yang
tidak jauh berbeda juga harus dihadapi oleh dai kita di Sulawesi Barat. Ahmad
Bashori harus menempuh perjalanan berkilo-kilometer untuk sampai ke tempat
dakwahnya. Pernah suatu saat, tepatnya Ramadhan yang lalu, masyarakat
memintanya menjadi imam sholat Jumat. Karena medan yang tidak ringan, di perjalanan
ban motornya kempes, dan tak ada bengkel. Tak mau meratap, Bashori mendorong
motornya sekuat tenaga, hingga saat datang ke lokasi, shalat Jumat telah usai
dilaksanakan.
“Karena kami
panggil, Pak Ustadz sampai rela mengalami yang demikian ini,” ujar tokoh adat
masyarakat setempat. Amil BMH yang saat itu menyaksikan kejadian tersebut tak
mampu membendung air mata dan jika berbicara dai pedalaman, matanya selalu
berkaca-kaca. Itulah sesungguhnya yang terjadi pada para dai kita di pedalaman
Nusantara.
Mari Kuatkan Bersama
Demikianlah
realitas masyarakat dan dai di pedalaman. Satu sisi masyarakat sangat haus akan
pencerahan, sisi lain para dai harus sekuat tenaga, menghadapi rintangan medan,
kultur dan iman yang tidak ringan.
Sebagaimana
hadits Nabi Muhammad SAW bahwa umat Islam itu seperti satu tubuh. Maka sudah
sepatutnya kita yang Allah berikan kemampuan peka dan peduli dengan perjuangan
mereka. Bukan atas dasar karena mereka kesulitan, tetapi bersama mereka ada
kemuliaan kita.*(Rama-MULIA)
0 komentar:
Posting Komentar