BMH Depok- Obrolan tak etis seorang pejabat lembaga negara yang tengah
mencoba berkongkalikong dalam bisnis pertambangan raksasa di timur Indonesia,
sampai ke telinga publik. Si pejabat terdengar mencatut nama pejabat-pejabat
lainnya. Geger !
Anehnya, reaksi psikologis yang ditampilkan sang pejabat
bukanlah perasaan bersalah. Perasaan malu, tepatnya dipermalukan, yang justru
menyala.
Secara umum, perasaan bersalah bersifat baik. Ia sadar bahwa
ia telah merugikan orang lain, dan tindakannya itu telah mencederai standar
atau citra dirinya sendiri. Perasaan ini membantu siempunya hati untuk
berempati, bertanggung jawab, bahkan berupaya melakukan koreksi. Perasaan bersalah
mencerminkan kesehatan psikis manusia.
Perasaan diperamlukan punya dinamika lain. Walau individu
telah memunculkan kejadian yang tidak menyenangkan bagi pihak lain. Namun ia
tidak menganggap itu sebagai bentuk pelanggaran terhadap standar dirinya
sendiri. Perasaan dipermalukan bersifat destruktif.
Orang yang merasa bersalah memiliki keinsyafan bahwa ia
telah mengganggu pihak lain. Perasaan bersalah membuat individu lebih hirau
pada dampak perlakuan oang lain terhadap dirinya sendiri. Ketika diteror oleh
perasaan dipermalukan “pengganggu” untuk bertanggung jawab. Ia tidak
memperbaiki hubungan kualitas hubungannya dengan orang lain, melainkan merusak
relasi lebih jauh lagi.
Kembali ke kisah tentang sang pejabat, ia tidak terima
dengan segala sangkaan. Ia dan cs-nya melakukan serangan balik ke pihak yang
telah membocorkan rekaman obrolan joroknya. Dibandingkan dengan perasaan
bersalah yang kerap diikuti dengan perilaku prososial, perasaan dipermalukan
memang lebih kuat hubungannya dengan amarah, keinginan mengambinghitamkan pihak
lain, serta dorongan bermusuhan lainnya.
Karena perasaan dipermalukan terlihat lebih nyata, maka ada
alasan kuat untuk waspada bahwa sipejabat akan mengulangi perbuatan buruknya. Potensi
penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi akan terus merecoki proses
penentuan arah kebijakan negara.
Sampai di sini, serbaneka perasaan di atas seolah hanya
terdapat pada manusia. Tetapi benarkah begitu ? ilmuwan psikologi Marc Beckoff,
tidak sepakat. Ia berasumsi, karena mamalia (manusia termasuk mamalia)
mempunyai basis syaraf yang sama, maka mahluk mamalia selain manusia pun dapat
mengalami perasaan bersalah. Jadi, berangkat dari asumsi Beckoff, manusia yang
hatinya tidak dibaluri perasaan bersalah, ia boleh jadi mengalami anomali
syaraf.
Celaka dua belas, di sini, bukan hanya satu dua orang saja
yang berkelakuan seperti itu. Allahu a’alam.
Reza Indragiri Amriel (Anggota Asosiasi Psikolog Islam)