BMH Depok - Bukan perkara mudah bagi Maslun untuk mewujudkan mimpinya
tujuan di dunia dakwah. Hal itu bermula, ketika ia telah selesai merampungkan
studinya. Dengan tekad bulat ia memberanikan diri untuk mengutarakan minatnya
bergabung dengan Hidayatullah Cabang Surabaya untuk terjun di dunia dakwah.
Tak disangka, penolakan keras datang dari orang tuanya. Orangtuanya mengancam tidak menganggap anak
bila ia bersikukuh dengan pendiriannya.
“Ayah dan ibu bilang bahwa mereka tidak akan menganggap saya
sebagai anak kalau masih ngotot hendak bergabung Hidayatullah”, ungkap Maslun
mengenang.
Menyadari
jalur yang dipilih benar, Maslun bersi kukuh dengan pendiriannya. Ia tetap
melanjutkan cita-citanya berdakwah, menyeru manusia ke jalan Allah. Ternyata
apa yang diancamkan orangtuanya benar-benar terjadi. Mereka sudah tidak
menganggap Maslun sebagai bagian dari keluarga.
Bahkan
ketika bersilaturahmi kerumah, kedua orangtuanya mengacuhkan maslun. Untuk
menghibur hatinya, Maslun sering kali membaca kisah-kisah perjuangan para
pejuang tempo dulu, terutama Nabi Ibrahim, yang juga mengalami kisah yang sama,
mendapat tantangan dari orang tuanya dalam menjalankan dakwah.
Kondisi ini
berjalan sampai 5 tahunan, hingga akhirnya Allah melunakkan pintu keduanya.
Saat itu ia hendak menyempurnakan separuh agamanya.
Ujian di
jalan dakwah belum selesai ketika Maslun mendapatkan restu dari orang tuanya.
Getirnya perjalanan dakwah, justeru semakin terasa ketika mendapatkan amanah
langsung dari atasannya, untuk mengembangkan dakwah di Kota Batik, Pekalongan.
Betapa
tidak, di sana ia bahkan harus bermalam di emperan Masjid Agung Pekalongan
untuk beberapa saat lamanya, karena tidak ada sangu dan tempat yang dituju.
Ceritanya
bermula dari tugas mengembangkan dakwah di Pekalongan, Jawa Tengah. Saat itu ia
baru saja menyelesaikan akad nikahnya.
Mendapat
amanah demikian, Maslun pun tak pikir panjang untuk menyanggupinya. Ia bersama
belahan jiwanya sepekat untuk menjalankan amanah sebaik-baiknya.
Namun, yang
menggelikan dengan tugas itu, mereka tidak mendapat bekal sama sekali oleh
pihak pimpinan. Celakanya, uang disaku Maslun tinggal sedikit. Ghalibnya, sang
isteri juga tidak mengantongi uang sepeserpun.
Untung
sebelum berangkat, suami Khalifah ini mengumpukan majalah-majalah suara
Hidayatullah bekas. Sadar uang transportasinya tidak akan mencukupi, Maslun
berinisiatif untuk singgah di Hidayatullah Madiun. Dari situ ia mendapat uang
tambahan meski tidak seberapa. Selanjutnya, ia melanjutkan perjalanan dan
memilih stasiun kota Solo sebagai pelabuhannya.
Bukan tanpa
alasan, uang disakunya hanya bisa sampai sana. Di stasiun inilah ia mencoba
memeras otak untuk mendapatkan uang guna melanjutkan perjalanan. Seketika itu
teringat majalah-majalah suara hidayatullah bekas yang ia bawa.
“Akhirnya
majalah-majalah itu saya jajakan kepada orang-orang. Alhamdulillah banyak juga
yang membeli sampai akhirnya bisa menambah biaya transportasi,”terangnya.
Sesampainya
di Pekalongan, ternyata ujian menuju medan dakwah belumlah usai. Kali ini ia
terbentur dengan tempat tinggal. Tidak ada alamat yang dituju. Akhirnya ia
berinisiatif untuk mencari alamat mesjid Agung. Dari informasi yang didapat,
jarak masjid terminal dengan masjid Agung mencapai 3-4 kilometer.
Karena
tidak ada uang untuk biaya naik angkot, jarak itu pun mereka tempuh berdua
dengan berjalan kaki. Di teras masjid inilah Maslun bersama istri bertempat
tinggal untuk beberapa hari lamanya.
Alhamdulillah,
berkat pertolongan Allah semata, perjalanan berjalan beberapa lama, ayah lima
anak ini mendapat tanah wakaf di Kabupaten Batang (dekat dengan Pekalongan)
Sejatinya,
ditinjau dari segala aspek lahan tersebut kurang strategis untuk pendirian Pesantren.
Selain kualitas tanahnya kurang baik dan dipenuhi semak belukar. Akses jalannya
sangat sukar dijangkau karena hanya memiliki setapak. Tak kalah menantang
masyarakat disekitar menganggapnya kawasan tersebut angker.
“Jangankan
malam hari, sore hari saja masyrakat waktu itu sudah tidak ada yang berani
lewat daerah ini,”tuturnya.
Meski
demikian, pemilik hobi baca kisah Nabi Ibrahim inibertekad untuk mengembangkan
lahan tersebut agar lebih bermanfaat, khususnya bagi umat.
Mulailah ia
galakkan silaturahim. Hasilnya tidak mengecewakan. Banyak simpatisan siap
membantu mewujudkan menjadi pesantren.
Kini lahan
yang dahulu menyeramkan dan angker itu telah berdiri masjid dan beberapa
bangunan permanen.
“Alhamdulillah,
untuk pendidikan, di sana sudah berdiri PPAS, TK dan SD,”Terangnya.
“Bahkan
saat ini tengah merintis berdirinya Peantren tahfidz,”Pungkasnya. Barakallah,
ustadz.
0 komentar:
Posting Komentar