Dalam dunia seni, cinta dimaknai sebagai
ketertarikan mendalam antara lawan jenis, biasanya lebih karena aspek lahiriah,
cantik rupawan, kemerduan suara, atau fisik yang gagah. Wajar jika kemudian
dunia seni menampilkan cinta pada aspek keindahan lahiriah belaka.
Cinta yang seperti itu pada dasarnya
manusiawi, namun cinta pada ranah tersebut terkategori cinta paling rendah.
Akan tetapi, siapa yang menjadikan cinta pada kategori tersebut sebagai jalan
hidup, maka seketika orang akan kehilangan akal budinya. Bahkan, dalam beberapa
kasus, ada yang rela menanggalkan keimanannya. Itulah cinta buta.
Dalam kitab Raudah Al-Muhibbin wa Nuzhah
Al-Musytaqin, Ibn Qayyim menjelaskan bahwa orang yang terkena penyakit cinta
buta, biasanya disibukkan dengan mengingat orang yang dicintai daripada
mengingat Allah.
Payahnya, sekalipun cinta seperti itu
terkategori rendah, tetapi banyak manusia terjerembab karenanya. Bukan sebatas
pada lawan jenis semata, tetapi juga pada harta, pangkat, keturunan, hingga binatang
peliharaan (QS. 3: 14).
Karena cinta kelas rendah, Raja Namrudz
membakar Nabi Ibrahim, Fir’aun menyembelih setiap bayi laki-laki Bani Israil,
dan Qabil membunuh Habil. Dan, ternyata manusia memang diuji dengan cinta
paling rendah ini.
Lantas, mana dan seperti apa cinta kelas
tinggi atau cinta yang mulia? Hal ini dijawab oleh Rasulullah, “Yaitu,
mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi segala-galanya. Mencintai seseorang
hanya karena Allah dan enggan untuk menjadi kafir setelah diselamatkan Allah darinya
sebagaimana enggannya kalau dilempar ke dalam api.” (HR. Bukhari-Muslim)
Artinya, cinta seorang mukmin harus
bersumber dan berdasar dari keimanan yang kuat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika
hal itu terjadi, maka kecintaan pada yang di atas dikategorikan sebagai cinta
terendah, akan bisa mengantarkan dirinya pada ridho dan surga-Nya.
Untuk itu, Ibn Katsir dalam tafsirnya
menjelaskan (QS. 3: 14) dengan menekankan betapa Rasulullah mencintai mukmin
yang mencintai istri, anak, harta dan binatang peliharaan serta propertinya
karena dan untuk Allah Ta’ala.
Lantas bagaimana kita bisa melihat diri
telah sampai pada derajat cinta yang seperti itu? “Katakanlah: “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.”” (QS. 3: 31)
Dalam tafsirnya, Ibn Katsir menjelakan
bahwa ayat tersebut merupakan pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku
mencintai Allah, tetapi tidak menempuh jalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Dengan demikian, ittiba (mengikuti)
Rasulullah merupakan tolok ukur sekaligus penentu kebenaran dan kemuliaan cinta
seorang mukmin.
Apabila hal ini terjadi, maka apapun yang
dimilikinya akan mengantarkannya pada kemuliaan. Sebagaimana yang dilakukan
oleh Siti Khadijah, segenap yang dimilikinya berupa harta, perniagaan, bahkan
jiwa raganya, seluruhnya diserahkan untuk kemajuan dakwah Islam dan kemakmuran
kaum Muslimin.
Nah, dalam perspektif rasio, jelas
tindakan tersebut membingungkan. Tetapi dengan cara pandang iman, tindakan
tersebut sangat membanggakan. Karena hakikatnya, harta itulah yang harus
dikorbankan demi iman, bukan iman dikorbankan demi harta, yang menyebabkan jiwa
menderita penyakit cinta.*/Imam Nawawi
0 komentar:
Posting Komentar