Dalam buku karya Roger Hamilton, Your Life Your Legacy,
disebutkan paradoksnya kekayaan. “Semakin banyak uang yang Anda miliki, semakin
besar kemungkinan Anda akan kehilangan uang itu.”
Hal itu disampaikan Hamilton kala melihat betapa banyaknya
manusia yang ketika uang datang dengan begitu mudahnya, saat itu juga mereka
mudah tergoda untuk menginvestasikannya dalam segala macam jenis usaha, intinya
berharap uangnya akan kembali dalam jumlah lebih besar.
Hamilton menyebut orang tersebut sebagai orang yang
kepercayaan dirinya melampaui kompetensinya, yang tak lama setelah mereka
menginvestasikan uangnya yang diharap kembali dalam jumlah lebih besar, justru
malah lenyap tak berjejak. Itulah yang terjadi pada mereka yang tertipu pada
segala macam jenis investasi bodong.
Fenomena tersebut terjadi karena umumnya orang masih
memahami kekayaan sebatas jumlah uang yang dikumpulkannya. Semakin banyak uang,
maka disebut semakin kaya. Sepintas memang begitu. Tapi, ternyata tidak.
Hamilton sendiri mengartikan kekayaan tak seperti lazimnya
masyarakat. Lulusan Cambridge University itu memaknai kekayaan seperti ini: “Kekayaan
bukanlah soal seberapa banyak uang yang Anda miliki. Kekayaan adalah apa yang
masih Anda miliki bila Anda telah kehilangan semua uang Anda.”
Dengan demikian, kaya, sejatinya bukan semata soal akumulasi
uang dalam dompet atau rekening kita. Tetapi, kaya adalah tentang kebermaknaan,
kemanfaatan dan kebaikan hidup kita sendiri dalam kehidupan. Dan, itu adanya
hanya di dalam hati.
Nah, makna kaya yang demikian telah lama disampaikan oleh
Rasulullah SAW, bahwa manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi
sesamanya. Kemudian, di dalam Al-Quran Allah tegaskan bahwa manusia yang paling
mulia di sisi-Nya adalah yang bertakwa (QS.49: 31).
Kekayaan Muhammad SAW
Sejauh ini, sejarah menampilkan sosok Rasulullah Muhammad
SAW saat kecil sebagai yatim piatu, penggembala dan pedagang.
Padahal, di balik itu semua ada kekayaan yang sangat luar
biasa pada putra Abdullah itu, yakni kejujuran. Berbekal kejujuran itulah,
segala macam kepercayaan dari masyarakat, bahkan hingga profesi dan harta
tentunya melekat dalam kehidupannya.
Menariknya, kekayaan harta yang cukup melimpah membuat
hatinya lembut, jujur dan penyantun.
Kekayaan hakiki itu ternyata juga ‘menular’ pada sang istri
tercinta yang saudagar kaya raya. Apa yang kemudian terjadi, seluruh kekayaan
Khadijah, sepenuhnya dibelanjakan untuk mendukung dakwah dan kemenangan kaum
Muslimin.
Kekayaan Abdurrahman bin
Auf
Siapa yang tidak mengenal sahabat Nabi yang sangat luar
biasa ini. Sejarah, lagi-lagi mengupas sahabat yang pakar bisnis ini, lebih
pada kemauan tinggi dalam membelanjakan hartanya dalam jumlah besar untuk
perjuangan umat Islam. Cukup jarang dikaji aspek apa sebenarnya yang membuat
Abdurrahman bin Auf mau melakukan hal tersebut.
Jika ditelisik lebih jauh, ternyata sama, bahwa yang paling
mendasar ada pada diri Abdurrahman bin Auf adalah kekayaan hatinya. Ia berangkat
hijrah dari Makkah ke Madinah bukan untuk mengumpulkan harta, tapi menyelamatkan
imannya. Dan, karena ia memahami kompetensi dirinya yang baik dalam bisnis,
maka ia jadikan bisnis itu sebagai media untuk manifestasi keimanannya.
Maka wajar, kala beliau mendapatkan tawaran harta, bahkan
istri dari sahabatnya, Abdurrahman bin Auf menolak semua itu. Kenapa? Hatinya sudah
kaya dan ia berkeyakinan kompetensinya akan menghadirkan kekayaan jauh lebih
besar dari apa yang ditawarkan kepadanya.
0 komentar:
Posting Komentar