BMH Depok - Dalam buku Al- Da’wad Dawa’ Ibn Qayyim Al-Jauziyah mengutip satu hadits Nabi Muhammad SAW.
Abu Umamah bin Sahl bin Hanif mengisahkan, “Aku bersama Urwah bin Zubair pernah mengunjungi Aisyah, lalu ia berkata, “Andaikan kalian berdua melihat di saat Rasulullah sakit, sementara beliau hanya memiliki enam atau tujuh dinar. Lantas beliau menyuruhku agar membagi-bagikannya.”
Aisyah melanjutkan,”Namun aku sudah tersibukkan oleh urusan sakitnya Rasulullah sampai kemudian Allah berkenan memberikan kesembuhan kepada beliau. Sesudah itu beliau menanyakan kepadaku, “Apa yang telah engkau kerjakan? Sudahkah engkau bagi-bagikan uang enam dinar tersebut?”
Aku menjawab, “Sungguh aku belum sempat melakukannya. Aku sudah tersibukkan mengurus sakit yang anda derita.
Rasulullah kemudian menyuruhnya agar membawakan dan meletakkan dinar itu pada telapak tangan beliau. Sesudah terlaksanakan, beliau bersabda,”Apa persangkaan Nabiyullah jika ia bertemu dengan Allah sedangkan masih ada uang dinar ini di tangannya?” Atau dalam riwayat lainnya “Apa persangkaan Muhammad terhadap Rabbnya jika ia bertemu dengan Allah dalam keadaan masih ada uang dinar ini padanya?” (HR. Ahmad, Ibn Hiban dan Baihaqi).
Ibn Qayyim Al-Jauziyah menambahkan penjelasan, “Maksudnya, jangan sampai masih ada uang yang tersisa, tapi mestinya semuanya diinfakkan di jalan Allah.”
Subhanallah , dalam kondisi sakit, Nabi Muhammad ternyata menempatkan sedekah sebagai yang utama. Sampai-sampai, saat sehat pun, yang pertama beliau tanyakan adalah perihal harta yang dimilikinya, sudah disedekahkan belum dijalan Allah?
Penyelamat Aqidah
Maha suci Allah Ta’ala yang telah menetapkan syariat zakat dan sedekah. Melalui syariat tersebut Allah menjaga hati dan aqidah umat Islam yang benar-benar beriman. Sebab, tidak sedikit manusia yang tertipu, terpedaya dan terlena dengan kesenangan dunia.
Banyak manusia yang mementingkan dunia daripada akhirat, serta rela dan puas dengan mendapatkan dunia dari pada akhirat, sampai ada sebagian dari mereka yang mengatakan,’Dunia adalah kontan sedangkan akhirat adalah kredit,” demikian tulis ibn Qayyim Al-Jauziyah dalam Al-Dawad Dawa’.
Kemudian beliau menulis,”Debu yang tersedia sekarang lebih baik ketimbang mutiara yang hanya baru dijanjikan.” Kemudian,”Kenikmatan dunia ini meyakinkan, sedangkan kenikmatan akhirat itu meragukan. Sudah tentu saya tidak akan meninggalkan yang meyakinkan demi sesuatu yang meragukan”.
Demikianlah kecendrungan sikap manusia. Dan , bisa kita bayangkan, Ibn Qayyim Al-Jauziah saja menemukan ucapan-ucapan orang yang telah tertipu oleh dunia seperti di atas. Bagaimana dengan hari ini?
Oleh karena itu, kita mesti bersyukur kepada Allah yang telah menerangi jiwa raga kita dengan hidayah, hingga kita menjadi manusia-manusia yang beraqidah. Bahkan, Allah berikan petunjuk bagaimana agar aqidah itu tetap kokoh dan tidak roboh oleh hantaman kenikmatan harta.
Sungguh umat terdahulu telah banyak yang tertipu kenikmatan harta, sampai ada yang menentang para Nabi dan Rasul. Sebut saja seperti Fir’aun dan Qarun yang menjadikan harta sebagai tujuan.
Dengan kata lain, penyelamat terbaik dari keterlenaan nikmat harta adalah dengan menunaikan zakat dan sedekah semata-mata karena mengharap ridha Allah Ta’ala.
Alat Jihad
Sebagian dari kaum Muslimin mungkin masih berpendapat,”Ah beliau kan Nabi, wajar saja jika semangat sedekahnya luar biasa. Kita kan, manusia biasa?”
Logikanya, mengapa semangat Nabi dalam bersedekah (walau dalam kondisi sakit) tetap luar biasa? Tak lain harta adalah alat jihad menuju Allah, bukan tujuan hidup.
Nabi menjelaskan dalam satu hditsnya,”perumpamaan dunia dengan akhirat tidak lain seperti salah seorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut. Silahkan lihat, apa yang berhasil ia angkat?.” (HR. Muslim, Ibn Majah & Ahmad).
Jadi, harta tidak boleh membelenggu jiwa, menodai hati, apalagi sampai berubah menjadi berhala dan tujuan. Sebab, hakikat harta adalah alat, media yang sudah semestinya kita gunakan untuk mencapai kebahagiaan tak terbatas (akhirat).*/Abu Ilmia
Majalah Mulia BMH
0 komentar:
Posting Komentar