BHM Depok - Salah satu kata yang identik
dengan bulan Agustus di negri ini adalah kata “ Merdeka”. Namun, dalam
realitanya, negeri ini belum benar-benar merdeka, bahkan tidak sedikit juga
para penghuninya, dari mandor hingga profesor, dari petani hingga peneliti, dan
dari pengamen hingga presiden, hampir semuanya masih terjajah.
Benarkah itu terjadi? Lihat saja
bagaimana headline sebagian besar media masa kini. Adakah gagasan besar yang
diungkap dan dibahas? Atau malah perkataan-perkataan tak bermartabat yang sering
dijadikan daya pikat?
Sejauh pikiran seorang manusia,
menganggap ketidak benaran sebagai jalan mencapai keuntungan, maka sejauh itu
tidak ada yang namanya kemerdekaan. Indera, akal dan hatinya akan menggemari
kehinaan.
Tidak ada suatu perkara yang
lebih hina bagi Budiman daripada loba tamak. Tidak ada yang lebih mudharat
daripada perebutan pangkat dan pengaruh, apalagi setelah dipakai pula bujuk
cumbuh fitnah di sini, hasut di sana”, demikian tegas Buya Hamka dalam bukunya
Falsafah Hidup.
Ketika jenis keterjajahan
sebagaimana dimaksud Buya Hamka itu terjadi pada diri seorang pemimpin suatu bangsa,
maka jelas negri yang dipimpinnya tidak akan memiliki harga diri. Bangsa lain
pun memandang sebatas cukong.
Bila terjadi pada diri seorang
pemimpin lembaga bisnis atau pun lainnya, maka segala ucapan dan gerak-geriknya
hanya menimbulkan keresahan bawahan, yang pada akhirnya meniscayakan
kebangkrutan.
Karena dalam benaknya hanya ada
satu hal semata, yakni kecurigaan dan keinginan untuk terus diagung-agungkan
sebagai yang paling lebih dalam segala kondisi.
Tidak berhenti disitu, jiwa
pemimpin yang terjajah akan memelihara sifat kikir, boros dan tidak menghargai
orang lain. Terhadap harta, tangannya kuat mencengkeram. Akan tetapi, sadarlah
itu bukan kemerdekaan, meski setiap hari ia di kawal banyak orang.
Merdeka yang sesungguhnya adalah
orang yang jiwanya tidak terpaut, tidak tergantung, tidak berharap melainkan
kepada Allah ta’ala. Segala atribut duniawi, pangkat, jabatan, julukan tidak
menjadikannya pongah atau pun lemah. Hanya Tuhan penentu segala sikap, pikiran,
ucapan dan tindakannya.
Ketika bangsa ini mengatakan, “berjuang
samppai titik darah penghabisan,” itu berarti tidak akan pernah mau tunduk pada
penjajahan Belanda. Dan, sebagai muslim, Allah telah mengingatkan ,”Dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan islam”(QS. 3 :102),
maka kita tidak boleh tunduk oleh apa dan siapapun, kecuali hanya dalam rangka
taat kepada Allah Ta’ala semata.
Dalam bahasa Muhammad Iqbal, “Bangkitlah,
ciptakan dunia baru. Bungkus dirimu dalam api, dan jadilah seorang Ibrahim. Jangan
mau tunduk kepada apa pun kecuali kebenaran. Ia akan menjadikanmu singa jantan.*/
Imam Nawawi
0 komentar:
Posting Komentar