Sejenak
marilah kita kembali ke masa Rasulullah. Suatu masa yang Nabi sebut sebagai
masa terbaik, “Khairul quruni qarni, tsummalladzi yalihi, tsummalladzi yalihi.”
(Sebaik-baik zaman adalah zamanku (Muhammad), kemudian zaman setelahnya
(Sahabat), kemudian zaman setelahnya (Tabi’in). Suatu masa di mana ukhuwah
Islamiyah benar-benar nyata dalam kehidupan, tepatnya kala Hijrah dimulai.
Masa itu
menjadi tonggak perjalanan sejarah Islam di dunia dan tertulis dalam tinta emas
sejarah.
Ada hikmah
menarik yang bisa dipetik dari kisah itu. Hikmah yang mengundang decak kagum.
Sebuah akhlak mulia yang diperagakan dua sahabat Nabi karena Allah Ta’ala:
Sahabat Muhajirin (yang hijrah dari Makkah ke Madinah) dan Sahabat Anshar
(penduduk Madinah yang menolong kaum Muhajirin).
Akhlak itu
bernama persaudaraan. Dalam Islam disebut ukhuwah Islamiyyah. Rasulullah
mempersaudarakan keduanya atas asas iman.
Tersebutlah
Sahabat Muhajirin hijrah karena Allah. Mereka meninggalkan yang mereka punya.
Tak banyak bekal dibawa. Pun sahabat Anshar, selaku shahibul bait menjamu
karena Allah.
Terkisahlah
Nabi Muhammad menjodohkan kedua sahabat mulia ini. Dalam Sirah Ibnu Hisyam dan
Thabaqat Ibni Sa’ad disebutkan Nabi Muhammad mempersaudarakan Ja’far bin Abi
Thalib dengan Mu’adz bin Jabal, Hamzah bin Abdul Mutthalib dengan Zaid bin
Haritsah, Abu Bakar ash-Shiddiq dengan Kharijah bin Zuhair, Umar bin Khattab
dengan ‘Utbah bin Malik, Abdurrahman bin Auf dengan Sa’d bin Rabi’, dan
seterusnya.
Dr. Muhammad
Sa’id Ramadhan Al Buthy, penulis Sirah Nabawiyah bahkan mengatakan Nabi
mempersaudarakan mereka tidak saja atas Islam, tapi juga materi dan rasa
persamaan. Itu bentuk persaudaraan yang sangat tinggi.
Bentuk asas
itu dengan adanya kewajiban untuk saling mewarisi sepeninggal mereka. Seperti
saudara kerabat atau kandung. Ukhuwah Islamiyah kala itu bahkan lebih kuat dari
sekadar ikatan darah. Namun, usai perang Badar, Allah lalu menghapus kewajiban
itu.
Dalam
Al-Quran Allah berfirman:
“… Dan
orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal: 75)
Kewajiban
saling mewarisi antar kaum Muhajirin dan Anshar telah dihapus dengan ayat ini.
Tetapi, kendati demikian, spirit persaudaraan itu tetap menyala dan tak pernah
padam meski dimakan zaman.
Sahabat
Anshar mencintai sahabat Muhajirin karena Allah. Cinta mereka bahkan melebihi
cinta terhadap diri sendiri. Apapun yang mereka punya dibagi. Harta, perniagaan,
peternakan, rumah, kebun, apapun mereka bagi. Demi saudara. Demi cinta mereka
karena Allah Ta’ala.
Satu Tubuh
Persaudaraan
umat Islam seperti satu tubuh. “Kal-jasadil-wahid,” kata Nabi. Kita memang bukan
kaum Muhajirin. Bukan pula kaum Anshar. Kualitas amal shalih juga tak sehebat
mereka. Tapi, semangat berbagi sebagai saudara seiman harus tetap melekat,
seperti melekatnya iman di dada. Layaknya satu tubuh. Jika bagian anggota tubuh
sakit, maka seluruh tubuh akan menanggungnya.
Ada banyak
saudara di sekitar. Siapapun dia, selama beriman, adalah bagian dari tubuh
kita. Deritanya derita kita juga. Bahagianya bahagia kita juga.
Kita tak
layak membiarkan perut mereka tak terisi meski sehari pun. Sementara beras di
lumbung dapur kita masih penuh, uang di ATM kita jutaan bahkan milyaran. Rumah
ada di mana-mana. Kendaraan tiap saat berganti dengan keluaran terbaru.
Sekali-kali jangan kita biarkan. Kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban.
Realitas
paradoks juga sering kita saksikan. Di sudut-sudut kota, di selasar-selasar
desa, di pinggir-pinggir jalan masih banyak orang miskin. Mereka tak memiliki
rumah, tak bisa makan. Padahal, di luar sana, gedung bertingkat mencakar
langit.
Mari kita buka hati. Mari sayangi mereka seperti menyayangi diri kita sendiri. Agar jutaan saudara kita yang miskin bisa terangkat harkat hidupnya. Mari contoh semangat berbagi kaum Anshar. Mereka ikhlas berbagi karena Allah.*/Syaiful Anshor
0 komentar:
Posting Komentar