Adakah
manusia yang tidak mendambakan kemuliaan? Tentu tidak ada. Manusia bergerak
detik demi detik adalah dalam rangka meraih kemuliaan. Ada yang membanting
tulang, pergi pagi pulang malam mencari uang, alasannya demi kemuliaan. Ada yang
belajar keras, tak peduli panas hujan, alasannya juga untuk kemuliaan diri.
Begitulah,
semua orang mengakui bahwa kesuksesan manusia meraih posisi, kedudukan, jabatan
dan kekayaan sebagai suatu kemuliaan.
Tetapi,
apakah benar yang sekedar meraih kedudukan, memiliki kekuasaan lagi kekayaan
sebagai benar-benar insan yang mulia secara hakiki, mulia menurut kriteria
Ilahi?
Jika sekedar
harta, kekuasaan dan kepemimpinan yang dimiliki seseorang manusia, tetapi takwa
kepada Allah tidak menjadi bagian dari dirinya, maka ia tidak lain hanyalah
pewaris Fir’aun, Qarun, Haman dan Tsa’labah.
Siapa tak
kenal Fir’aun, Qarun, Haman dan Tsa’labah? Mereka sosok yang dicatat sejarah,
sangat giat dalam memperoleh dan menjaga harta benda bahkan untuk kekuasaannya.
Bayangkan,
hanya karena sebuah mimpi, Fir’aun berani membunuh semua bayi laki-laki bangsa
Yahudi. Mungkin ia juga beralasan apa yang dilakukan demi kemuliaannya.
Berapa banyak
orang saat ini, yang karena takut kehilangan posisi lantas melakukan berbagai
macam cara demi keamanan posisinya?
Ada yang
takut dengan masa depan, sehingga memanfaatkan kedudukan yang diamanahkan
sebagai jalan pintas meraih kekayaan. Kenapa demikian? Karena miskin identik
dengan kehinaan, kebodohan dan kesusahan. Siapa yang mau menjadi orang susah,
bodoh dan hina. Tentu tak seorang pun menghendakinya.
Kemuliaan Sejati
Tetapi apakah
benar, kaya, memiliki kedudukan dan berkuasa merupakan sumber kemuliaan?
Jika memang
benar itu, Rasulullah tentu layak menolak keislaman Bilal bin Rabah yang hanya seorang
budak. Rasul juga akan membuang Ammar bin Yasir yang tak lebih dari
orang yang miskin papa dan susah. Apa untungnya berteman dengan mereka?
Tidak.
Rasulullah justru sayang terhadap mereka. Bahkan pernah suatu ketika Rasulullah
bermuka masam kepada seorang buta yang hendak mempelajari Islam, karena beliau
sedang duduk bersama para pembesar Quraisy. Seketika itu Allah menegur
Rasulullah dengan sangat tegas.
“Dia
(Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta
kepadanya.” (QS. ‘Abasa: 1-2)
Ayat tersebut
memberikan petunjuk bahwa kemuliaan seorang manusia itu sama sekali tidak
berhubungan dengan fisik dan apa yang dimilikinya.
Hal ini Allah
Subhanahu Wa Ta’ala tegaskan pada ayat yang lain,
“Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
takwa di antara kamu.” (QS Al-Hujurat: 13)
Kemudian Rasulullah
bersabda,
“Sesungguhnya
Allah tidak melihat pada rupa dan harta kalian. Namun yang Allah lihat adalah
hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim)
Mulia di
Dunia, Mulia di Akhirat
Meskipun demikian
kita jangan salah paham, Islam itu bukan anti terhadap harta kekayaan dan
kedudukan, tetapi mewanti-wanti bahwa jika iman tidak kuat takwa tidak dominan,
bisa jadi semua itu akan menjadi biang kehancuran.
Silakan kaya
dan berkedudukan, tapi takwa harus tetap yang terdepan. Ibnu ‘Abbas berkata, “Mulianya
seseorang di dunia adalah karena kaya. Namun mulianya seseorang di akhirat
karena takwanya.”
Abdurrahman bin
Auf kala hijrah ia tidak punya apa-apa. Tapi ia punya keterampilan berdagang. Padahal,
Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan sahabat Anshar yang terbilang
berpunya. Tetapi, Abdurrahman bin Auf menolak dengan halus segala bantuan dan
pemberian saudara seimannya itu. “Tunjukkanlah kepadaku di mana pasar,” itu
pintanya.
Waktu pun
bergulir, Abdurrahman bin Auf akhirnya mampu membesarkan bisnisnya, bahkan ia
mampu menguasai pasar Madinah yang sebelumnya dikuasai kaum Yahudi. Abdurrahman
bin Auf pun menjelma sebagai saudagar kaya raya, istilah sekarang konglomerat.
Tetapi,
karena Abdurrahman bin Auf tidak berniat kecuali melakukan semua itu demi
kemuliaan Islam dan kaum muslimin, maka kekayaan yang dimilikinya itu pun tak
pernah mampu menggoyahkan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah. Abdurrahman
bin Auf bahkan tercatat sebagai konglomerat muslim yang sangat dermawan kepada
umat Islam.
Hal inilah
yang penting untuk kita resapi bersama. Segala kerusakan di dunia ini bersumber
dari tiadanya ketakwaan dari umat Islam. Sekiranya umat beriman dan bertakwa,
niscaya aman sentosa, makmur sejahtera seluruh penduduk negeri ini. (lihat QS
7: 96).*/Imam Nawawi
0 komentar:
Posting Komentar