Adalah Zaid
bin Tsabit. Satu dari sekian banyak profil sahabat yang sangat bergairah dalam
memburu ilmu. Prof. Dr. Muhammad Musthafa Al-Azhami menuliskan dalam bukunya “65 Sekretaris Nabi” bahwa dengan
dorongan iman dan takwa Zaid bin Tsabit menjadi sosok jenius dan pemberani luar
biasa.
Di usia 13
tahun, ia datang menemui Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Ia
datang membawa pedang yang panjangnya melebihi tinggi badannya. Ia percaya diri
memohon pada Rasulullah agar diizinkan ikut berperang.
“Saya
bersedia syahid untuk Anda wahai Rasulullah. Izinkan saya pergi berjihad
bersama Anda untuk memerangi musuh-musuh Allah,” ucapnya dengan tegas.
Di saat Nabi
memerintahkan pemuda belia itu mempelajari bahasa Ibrani, hanya dalam tempo dua
minggu, ia mampu menguasai Bahasa Yahudi baik lisan maupun tulisan.
Berkat
kemampuan Zaid bin Tsabit dalam Bahaya Yahudi, umat Islam senantiasa bisa
mengantisipasi segala macam bentuk makar Yahudi yang juga sering menipu
Rasulullah.
Di usia yang
masih muda, Zaid sudah menjadi orang kepercayaan dan menjadi sekretaris pribadi
Nabi. Karena kemampuannya membaca dan menghafal Al-Quran, Rasulullah
mempercayakan Zaid selalu menuliskan wahyu yang turun kepada Nabi.
Selain Zaid,
ada pula anak muda pemberani bernama Mush’ab bin Umair. Pemuda bangsawan
Quraisy yang tampan, gagah dan selalu berpenampilan necis. Konon, bau minyak
wanginya bisa dicium dari jarak yang cukup jauh. Dan, tak satu pun gadis
Quraisy yang tidak mendambakan dirinya.
Tetapi,
ketika hidayah Allah datang, Mush’ab berubah drastis. Ia tinggalkan segala
macam bentuk kesenangan duniawinya dan bersungguh-sungguh menuntut ilmu dari
Rasulullah di rumah Arqam bin Arqam.
Bahkan
ketika ibunya mengetahui ia telah masuk Islam, sang ibu mengancamnya di hadapan
berhala tidak akan makan dan minum kecuali Mush’ab meninggalkan Islam.
Mendengar jawaban ibunya, Mush’ab hanya berkata: “Andaikata ibu mempunyai
seratus nyawa sekalipun, dan nyawa ibu keluar satu-persatu, niscaya saya tetap
tidak akan meninggalkan Islam sama sekali.”
Itulah
Mush’ab yang akhirnya ditugasi Rasulullah ‘membuka’ kota Yatsrib yang kemudian
berubah nama menjadi Madinah al-Munawwarah.
Melalui
dakwah Mush’ab, banyak warga Madinah telah memeluk Islam. Hasilnya, ketika Nabi
berhijrah ke Madinah, sudah banyak penduduk Madinah telah memeluk Islam dan
menyambut kedatangan Nabi. Mush’ab tercatat sebagai anak muda ‘pembuka jalan
kepada Nabi dan para sahabat’ untuk berhijrah ke Madinah.
Ketegaran
Imam Syafi’i
Lain Zaid
dan Mush’ab, lain pula Muhammad bin Idris atau dikenal Imam Syafi’i. Sosok
ulama yang dikenal memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu.
Tidak punya
buku dan pena, namun beliau menjadikan tulang-belulan binatang, pelepah daun
kurma sebagai buku. Tidak hanya itu, beliau senantiasa akrab dengan kesusahan
dan kepayahan. Beliau tidak pernah makan kenyang dan benar-benar memagari diri
dari kemaksiatan. Karena kemaksiatan menurutnya adalah penghalang masuknya
cahaya ilmu.
Akibat
kemuliaan dalam berburu ilmu, akhirnya beliau menjadi ulama besar, tidak saja
di zamannya tetapi hingga saat ini dan masa mendatang. Karya-karyanya menjadi
benteng kokoh dan menjadi pandangan ahlussunnah hingga kini.
Zaid bin
Tsabit, Mush’ab bin Umair dan Imam Syafi’i adalah contoh tauladan muslim yang
mewakafkan hidupnya untuk berburu bekal kemuliaan.
Karena
itulah orang yang berilmu dan bertakwa dimasukkan Allah golongan mulia dan
beruntung.
“Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
takwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)
“Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medang perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)
Untuk meraih
kemuliaan mereka semua mempertaruhkan nyawa, harta dan waktunya. Lantas, dengan
cara apa agar kita meraih kemuliaan?*/Abu Ilmia
0 komentar:
Posting Komentar